Sabtu, 26 April 2014

HAKIKAT SYUKUR

"Tuahanku, anugerahilah aku kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhoi; dan masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hambah-hambah-Mu yang soleh."           (QS. An-Naml;9)

Dikisakan pada suatu hari, seorang alim kedatangan orang miskin yang mengelukan kefakiran dan kesusahan hidupnya.
 Orang alim itu pun berkata, "Senangkah anda andai kata anda buta, tapi diberi uang seratus ribuh ?" 
Dia menjawab, "Tidak." 
"Senangkah anda andaikata diberi uang dua ratus ribuh, tapi anda bisu ?"
Dia menjawab, "Tidak."
"Senagkah anda andaikata anda diberi uang tiga ratus ribuh, tapi anda menjadi gila ?"
Diapun menjawab, "Tidak."
Orang alim itu melanjukan "Oleh karena itu tidakah anda malu mengadukan kefakiran anda padahal anda memiliki harta melebihi lima ratus ribuh ?"

Mensyukuri nikmat ALLAH swt memang perkara sulit. Nyatanya manusia hanya sanggup meleburkan diri dalam hakikat bersyukur sesungguhnya beberapa saat setelah mendapatkan nikmat yang dianugerakan oleh-Nya. Ketika, misalnya, seseorang mendapatkan gaji bulanan, maka ucapan dan perasaan syukur hanya bisa memenuhi jiwa selama uang itu masih berjumlah banyak. Tapi bilah uangnya sudah berangsur habis digunakan untuk beragam kebutuhan, tidak hanya syukur yang hilang, tapi kegundahan hati dan terlebih ketidak puasan terhadap ALLAH swt sang pengatur rezeki yang kelak muncul dan menghiasi sisa-sisa hari dalam satu bulan itu.
Persis seorang budak yang dihukum cambuk terus menerus, ketika pukulan dihentikan untuk sementara, dia merasa menerima anugerah, tapi jika dihentikan untuk selamanya, dia malah begitu gembira kemudian sombong dan tidak mau bersyukur. Maka inilah yang sering tidak disadari oleh manusia, betapa berlimpanya rizki dan nikmat yanh telah ALLAH swt berikan kepadanya, tapi betapa sedikitnya ungkapan syukur yang dicurahkan kepada-Nya. Dilain segi, manusia juga seringkali hanya mensyukuri nikmat berupa harta benda, sedangkan nikmat-nikmat yang lain mereka lupakan. 
Dalam Al-quran, terdapat satu ayat yang berisi permohonan manusia agar diberikan kemudahan bersyukur kepada ALLOAH swt, karena kemudahan itu merupakan anugerah tersendiri yang juga patut disyukuri. Doa di atas merupakan doa yang diucapkan nabi SULAIMAN as. saat beliau dan balatentaranya melewati sekawanan semut yang takut terinjak-injak oleh tentara nabi Sulaiman. Lihat lah bagaimana seorang nabi yang mempunyai tingkatan keimanan di atas rata-rata kesulitan dalam mensyukuri nikmat ALLAH swt sehinggah beliau memohon pertolongan ALLAH untuk selalu bersyukur kepada-Nya. 
Nabi DAUD as pun perna mengangkat tangan beliau kehadirat ALLAH, "Wahai tuhan, bagaimana aku mensyukuri -Mu, padahal kesyukuran adalah nikmat-Mu yang lain, yang juga membutuhkan syukur dariku?.
Menurut AL Biqa'i, sebagaimana dikutip oleh M Quraisy Shihab dalam tafsir misbahnya, kata anugerahilah (auzi'ni) merupakan permohonan yang berarti dorongan untuk bersyukur sekaligus pencegahan dari dari segala yang bertentangan dengan kesyukuran itu, yang mengikat hinggah tidak terlepas atau luput dari diri kita sesaat pun. Kata itu juga bisa berarti 'membutuhkan, senang dan tertarik'. Sehingga penggalan ayat diatas bisa berarti: 'jadikanlah aku membutuhkan rasa syukur, senang tertyarik melakukannya.
Secara harfiyyah berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. Imam Ghazali dalam kitab Ihya-nya menerangkan bahwa kalimat syukur Al-hamdulillah menempati tingkatan tertinggih bila dibandingkan dengan kalimat tahlil Laa ilaaha Illallah dan tasbih Subhanallah . Keutamaan kalimat tahmid ini, demikian Iman Ghazali, karena ia tidak hanya mengandung makna pengkudusan terhadap ALLAH swt tetapi juga memiliki makna pentauhidan dan di dalamnya berkumpul kemampuan bekerja yang sempurna.
Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa mengucapkan 'subhanallah', ia mendapat sepuluh kebaikan. Barang siapa yang mengucapkan 'Laa Ilaaha Ilallah', ia mendapat dua puluh kebaikan. Dan barang siapa mengucapkan 'Alhamdulillah', ia mendapat tiga puluh kebaikan.
Tapi kebaikan tersebut tidak dapat digapaihanya dengan menggerakan lida semata, tapi juga harus diikuti dengan gerakan hati dan tangan. Untuk itu, Imam Ghazali menyusun hakikat syukur kedalam tiga perkara, yaitu Ilmu, keadaan dan Amal. Ilmu berarti mengenal dan menyadari nikmat dari pemberi nikmat. Sedangkan keadaan adalah kegembiraan yang terjadi saat nikmat itu diterimah. Lalu amal berarti tindakan untuk melaksanakan apa yang menjadi Si Pemberi Nikmat dan apa-apa yang Dia cintai. 
Bersyukur hendaklah diawali dengan kesadaran penuh betapa besar nikmat dan anugerah-Nya. Bahwa nikmat itu datangnya hanya dari ALLAH swt, Sang Pemberi Nikmat Hakiki. sedangkan yang lain-lain hanya perantara yang tidak berarti jika ditinjau dari sudut tuhan sendiri. ALLAH pernah mewahyukan kepada nabi Daud as : "Kalau engkau telah menyadari bahwa apa yang engkau nikmati bersumber dari-Ku, maka engkau telah mensyukuri-Ku".
Kesadaran yang bersandar pada makrifat semacam ini pada hakikatnya masuk kedalam bingkai keimanan dan keyakinan yang secara praktis dapat menghilangkan benih-benih syirikdalam hati dan perbuatan manusia. Sebagai ilustrasi, bila seseorang diberikan nikmat oleh raja tetapi dia masih memandang perdana menteri atau wakilnya turut andil dalam pemberian nikmat itu, maka disinhi ada syirik dalam mensyukuri nikmat tersebut. Kegembiraannya saat itu terbagi kepada banyak pihak lantaran nikmat itu tidak dipandang berasal dari raja semata. Padahal sesungguhnya kehadiran pertdana menteri hanya sebagai perantara dan apa yang mereka lakukan semata-mata titah dari sang raja. 
Demikian pulah halnya dengan alam semesta dan manusia-manusia yang hidup didalamnya. Meskipun satu persatu dari para penghuni alam raya ini memberikan kehidupan dan kebutuhan hidup, bukan berarti mereka layak disyukuri terlebih disembah. Karena matahari, bulan, bintang beserta seluruh mahluk lainnya tunduk di bawah perinta ALLAH. Hakikat syukur yang kedua adalah keadaan gembira yang meliputi seluruh jiwa dan raga. Kegembiraan ini hendaknya trtujuh kepada pemberi nikmat (subyek), bukan nikmat yang diberikan (obyek) dan bukan pula bukan pula kepada pemberian nikmat tersebut (proses). Artinya, seseorang bergembira karena dengan nikmat tersebut ia dapat lebih dekat kepada-Nya dan memudahkannya bermunajat serta bersmbah sujud kepada-Nya. Inilah kegembiraan hakiki yang menjadikan hati tawadhu' (rendah hati) dan khudu' (tunduk). Asy Syibly dalam sala satu syairnya berkata: " syukur adalah ditujukan kepada yang memberi nikmat, bukan kepada nikmatnya. 
Hakikat ketiga adalah amal perbuatan yang muncul dari kegembiraan dan kesadaran kepada ALLAH swt. Amal perbuatan ini berkaitan dengan hati , lisan dan anggota badan. Amalan dengan hati adalah keinginan untuk berbuat baik kepada setiap mahluk-Nya. Amalan lisan adalah memperbanyak puji-pujian kepada ALLAH swt. Dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah dan doa. 
Terakhir, adalah amal perbuatan dengan anggota badan dalam rangka memanfaatkan nikmat tuhan untuk kebaikan dan ketaatan kepada-Nya. Syukur terhadap harta berarti memanfaatkan harta tersebut untuk kesejateraan dirinya, keluarga dan para mustahikzakat, dan tidak memanfaatkannya untuk huru-hara dan kemubaziran belaka. Syukurterhadap ilmu adalah dengan mengembangkan dan memperluas khazanah keilmuan untuk kemudian mengamalkannya untuk kemahaslahatan dan peradapan manusia yang lebih tinggih. Syukur terhadap pekerjaan adalah dengan melaksanakan pekerjaan itu sebaik-baiknya sehinggah dia tidak menghilangkan kepercayaan dalam pekerjaan tersebut. 
Akhir kata  bila manusia merinci satu persatu nikmat yang melekat pada dirinya, mulai dari alis yang memperindah wajhanya hingga udara yang selalu dia hirup setiap detik, maka tidak ada kesempatan sesaat pun baginya untuk tidak bersyukur kepada ALLAH swt. Dan selalu mengagungkan Asma-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar